“Desa Wadas dan Teladas”
Wadas sebuah desa yang berada di Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah yang akhir-akhir ini menjadi pemberitaan diberbagai media online dan TV, dimana masyarakatnya secara heroik menolak penambangan batu andesit, yang materialnya akan dipergunakan untuk proyek Bendungan Bener. Pemerintah melalui Menkopulhukam merespon bahwa proyek ini telah memenuhi unsur legal formal, melalui tahapan dan proses, sehingga tidak ada dasar untuk tidak dilanjutkan. Aparat keamanan diminta untuk mengawal dan bertindak sesuai dengan prosedur dan juga mempersilahkan Komisi Nasional Hak Asazi Manusi Republik Indonesia (Komnasham) untuk memantau kondisi yang terjadi. Kuala “Teladas” sebuah kampung yang berada di Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung tepatnya muara sungai Way Tulang Bawang Pantai Timur Lampung, juga menjadi pemberitaan walau dalam konteks lokal, dimana disana juga akan dilakukan proyek pemerintah daerah yang bernama pendalaman alur muara sungai, pemerintah daerah melalui Dinas Perhubungan Provinsi Lampung menyampaikan bahwa kegiatan ini untuk mempermudah alur kapal (pelayaran) dan juga terinspirasi dengan kejayaan Kerajaan Tulang Bawang dimasa lampau dengan lalu lintas lautnya.
Satu wilayah disebut dengan istilah desa, satu lagi disebut dengan istilah kampung, kedunya tidak ada hubungan secara geografis, karena letak yang berjauhan, topografi wilayah yang berbeda, gubernurnya juga berbeda dan mungkin juga pendekatan yang berbeda dalam menangani sikap masyarakat yang pro dan kontra. Namun, keduanya (Wadas dan Teladas) memiliki kesamaan, memiliki sumber daya alam yang melimpah, di Wadas ada tambang batu andesit, di Kuala Teladas ternyata ada pasir laut yang konon cerita, materialnya dipergunakan untuk mereklamasi pulau, termasuk di Jakarta. Keduanya juga sama-sama dalam rangka menyokong proyek strategis level nasional dan daerah, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tapi kesamaan yang paling jelas bahwa keduanya dalam satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di Wadas tanahnya subur, berlimpah hasil bumi yang diusahakan oleh kebanyakan mereka yang bekerja sebagai petani dengan hasil komoditas pertanian dan perkebunan berupa kayu, durian, aren, kepala, padi. Di Teladas terhampar lautan luas dengan sumber daya ikan melimpah yang juga merupakan ekosistem pesisir laut yang sangat penting dalam penopang perikanan di Provinsi Lampung, utamanya perikanan rajungan “Blue swimming crab” yang merupakan komoditas ekspor penyokong 10% – 15% rajungan nasional dengan nilai perdagangan mencapai Rp. 500 milyar/th. Masyarakatnya sangat bergantung dengan hasil laut seperti ikan, udang, kerang dan lainnya dari hasil laut. Diperkirakan ada sekitar 4000 nelayan kecil yang sangat bergantung dengan hasil dari penangkapan rajungan. Keberadaan pasir laut, hutan mangrove, pertemuan perairan laut dan sungai menjadikan wilayah ini sebagai habitat yang ideal untuk mendukung perikanan di Provinsi Lampung, belum lagi keberadaan Taman Nasioanl Way Kambas yang ada didekatnya. Semakin menasbihkan bahwa wilayah ini habitat ideal bagi berbagai macam hewan dan tumbuhan.
Bak peribahasa “Asam di gunung, garam dilaut dalam tempurung bertemu jua”, kedua desa dihadapkan dengan istilah yang sama yaitu “proyek strategis” yang didukung dengan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), mendapat persertujuan masyarakat, menguntungkan semua pihak dan berdampak bagi kemakmuran. Menarik untuk mencermati proyek pendalaman alur yang sedang dilakukan di Kampung Kuala Teladas dan tidak menutup kemungkinan di tempat lainnya di Pantai Timur Lampung. Proyek-proyek yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam yang dibutuhkan untuk pembangunan seperti batu, pasir, tanah, kapur selalu memunculkan masalah sosial dan lingkungan, termasuk kecemasan akan hilangnya sumber kehidupan masyarakat. Masyarakat tidak mendapatkan apa-apa kecuali eksploitasi dan pemandangan hilir mudik yang menimbulkan debu, kotor, bising, keruh yang sehari-hari mereka temui dari kegiatan pengangkutan. Bagi yang mengusahakan “pengusaha” akan selalu diuntungkan atau bisa saja “menang banyak” dengan pendapatan yang sudah dapat dibayangkan dari izin/konsesi yang diperoleh, belum lagi jika material digunakan untuk menyokong berbagai proyek yang dibiayai negara.
Ironinya, cerita duka selalu ada dimasyarakat terutama mereka yang menolak. Preventif represif terkadang dimainkan sebagai peringatan bagi siapa saja yang menghalang-halangi proses pembangunan, bahkan yang memprihatinkan ada beberapa warga masyarakat Kampung Kuala Teladas yang dipanggil pihak kepolisian karena dianggap “mengancam” perusahaan. Spanduk-spanduk penolakan dianggap menggangu ketertiban umum, tidak berizin dan menimbulkan keresahan, sehingga dibersihkan oleh aparat keamanan. Bahkan juga dibuat spanduk tandingan yang bertuliskan peringatan ancaman pidana bagi yang menghalangi petugas yang sedang bekerja, akan dipidana, sanksi penjara 5 tahun.
Kita berharap dengan pemerintah Presiden Jokowi yang sangat akomodatif, dengan rekam jejaknya yang win-win solution dan handal dalam penataan pedagang di Kota Solo, relokasi warga sekitar bantaran sungai di Jakarta, menjadi contoh proses penyelesaian yang dialogis yang bisa ditiru oleh para pengambil kebijakan di daerah. Masyarakat diberikan pemahaman, dijawab kekhawatirannya dan yang terpenting masyarakat yang terdampak dapat menikmati kebaikan dari proyek strategis.
“Semoga negara ini semakin baik dan rakyatnya bermartabat”