LUBANG RESAPAN BIOPORI (LRB) BAGIAN DARI KONSERVASI AIR TANAH MERUPAKAN SALAH SATU ALTERNATIF DRAINASE PADA DAERAH PADAT PERMUKIMAN (KUMUH) DAN SEMENISASI
Tulas Mardakngo
PENDAHULUAN
Saat ini Indonesia memiliki jumlah penduduk, dengan kisaran 271,35 juta jiwa atau 3,47% dari keseluruhan jumlah penduduk dan menempati urutan ke empat untuk jumlah penduduk dunia. Dengan jumlah pertumbuhan penduduk yang terus meningkat akan memberi pengaruh pada tingginya kebutuhan lahan untuk permukiman. Fenomena ini secara tidak langsung memberi dampak pada pertumbuhan dan perkembangan suatu tempat permukiman. Terpusatnya kegiatan pada suatu perkotaan yang banyak aktifitas pekerjaan dan peluang peluang pekerjaan mempunyai pengaruh yang sangat besar akan minat urbanisasi, sehingga secara tidak langsung dapat menimbulkan permukiman hunian yang padat, bahkan dapat mengarah pada terbentuknya suatu permukiman yang padat kumuh. Permasalahan seperti ini sudah tidak asing lagi timbul di perkotaan yang ada di Indonesia.
Seiring dengan berkembangnya pembangunan yang begitu cepat mengkibatkan berkurangnya daerah resapan air hujan karena daerah yang dulu menjadi daerah yang potensial bagi meresapnya air hujan telah tertutupi oleh perkerasan seperti bangunan, aspal, semenisasi lingkungan yang menyebabkan waktu peresapan air hujan jauh lebih lama, sehingga air hujan yang menjadi aliran permukaan (surface run off) semakin besar melampaui kapasitas drainase yang ada, dapat juga mengakibatkan penurunan muka air tanah (land subsidence) karena tidak adanya pengisian air tanah.
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya yang dapat mengurangi dampak dari berkurangnya daerah tangkapan air hujan tersebut, Salah satu cara adalah dengan membuat sumur resapan air hujan pada wilayah permukiman padat. Dengan debit pengaliran yang terkendali dan semakin bertambahnya air hujan yang meresap ke dalam tanah maka kondisi muka air tanah akan semakin baik dari segi kualitas ataupun kuantitas, memperkecil daerah genangan air pada permukaan tanah. Salah satu jenis resapan air yang murah dan mudah pengerjaannya adalah dengan lubang resapan biopori. Metode ini di cetuskan oleh, Dr. Kamir Raziudin Brata, salah satu peneliti dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
TINJAUAN PUSTAKA
Drainase
adalah pembuangan massa air secara alami atau buatan dari permukaan atau bawah permukaan dari suatu tempat. Pembuangan ini dapat dilakukan dengan mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Drainase merupakan bagian penting dalam penataan sistem penyediaan air di bidang pertanian maupun tata ruang, (Wikipedia). Drainase sendiri terbagi menjadi 2, yaitu drainase buatan dan alami. Drainase buatan adalah drainase yang dibangun seperti selokan di bahu jalan. Sedangkan drainase alami misalnya tanah, ini karena tanah memiliki kemampuan menyerap air di bawah sebuah permukaan. Idealnya, jika saluran air besar dan luas maka aliran air akan lancar dan banjir bisa dihindari. Drainase sendiri terbagi menjadi 2, yaitu drainase buatan dan alami. Drainase buatan adalah drainase yang dibangun seperti selokan di bahu jalan dan drainase untuk keperluan irigasi. Sedangkan drainase alami misalnya tanah, ini karena tanah memiliki kemampuan menyerap air di bawah sebuah permukaan.
Menurut Parkinson dan Ole mark (2005), sistem drainase berkelanjutan merupakan suatu sistem drainase yang bertujuan untuk mengurangi permasalahan yang di timbulkan oleh aliran air permukaan dan juga mengurangi masalah polusi air, dengan cara mengendalikan dan mengalirkan limpasan air hujan yang berlebihan dengan cara meresapkannya ke dalam tanah secara alamiah melalui lubang resapan seperti sumur resapan dan lubang resapan biopori.
Lubang Resapan Biopori (LRB)
adalah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah sebagai metode resapan air yang ditujukan untuk mengatasi genangan air dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah. Biopori mampu meningkatkan daya penyerapan tanah terhadap air sehingga risiko terjadinya penggenangan air (waterlogging) semakin kecil. Air yang tersimpan ini dapat menjaga kelembaban tanah bahkan di musim kemarau. Peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan membuat lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah. Teknologi sederhana ini kemudian disebut dengan nama biopori. Keunggulan ini dipercaya bermanfaat sebagai pencegah banjir. Dinding lubang biopori akan membentuk lubang-lubang kecil (pori-pori) yang mampu menyerap air.
Permukiman
Adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian, juga sebagai tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU No. 4/ 1992, tentang perumahan dan permukiman)
Menurut Suparlan (2002), dalam Syaiful. A (2002) bahwa permukiman dapat digolongkan sebagai permukiman kumuh karena, pertama, kondisi dari permukiman tersebut ditandai oleh bangunan rumah-rumah hunian yang dibangun secara semrawut dan memadati hampir setiap sudut permukiman, dimana setiap rumah dibangun diatas tanah tanpa halaman. Kedua, jalan-jalan yang ada diantara rumah-rumah seperti labirin, sempit dan berkelok-kelok, serta becek karena tergenang air limbah yang ada disaluran yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketiga, sampah berserakan dimana-mana, dengan udara yang pengap dan berbau busuk. Keempat, fasilitas umum kurang atau tidak memadai. Kelima, kondisi fisik hunian atau rumah pada umumnya mengungkapkan kemiskinan dan kekumuhan, karena tidak terawat dengan baik.
PEMBAHASAN
Kriteria permukiman padat (kumuh) bias di dasarkan atas. Tata letak bangunan, jalan lingkungan, penyediaan air minum, drainase lingkungan, manajemen persampahan. Kriteria dari sisi tata letak bangunan gedung, bias di dasarkan atas: ketidakteraturan bangunan, tingkat padatnya bangunan, dan kualitas bangunan yang tidak layak. Serta kriteria dari sisi drainase lingkunagan bias di dasarkan atas: drainase lingkungan tidak mampu mengalirkan limpasan air hujan sehingga terjadi genangan, kurang tersedianya drainase, drainase tidak terkoneksi dengan baik, tidak terpeliharanya darinase sehingga menimbulkan akumulasi limbah, dan kualitas konstruksi drainase yang buruk.
Upaya Pemerintah dalam hal ini, untuk mengurangi kesan kekumuhan suatu permukiman yang padat adalah dengan menata system drainase yang sudah ada dan menata jalan jalan lingkungan sekitar maupun pada lokasi permukiman padat. Salah satu upaya Pemerintah dengan program semenisasi jalan jalan lingkungan dan renovasi drainase drainase yang ada, meski hasilnya kurang maksimal. Saat ini ada metode baru di bidang konservasi air tanah, yang di sebut lubang resapan biopori (LRB). LRB ini dapat di gunakan untuk mengatasi masalah air permukaan yang menggenang saat terjadi hujan, dengan lubang berdiameter 10 cm dalam 1 meter, dengan demikian kombinasi antara luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara bersama-sama akan meningkatkan kemampuan dalam meresapkan air.
Berikut ini merupakan ilustrasi perhitungan jumlah lubang resapan biopori (LRB) yang dibutuhkan untuk meresapkan air yang di akibatkan curah hujan yang turun pada suatu wilayah permukiman padat (kumuh) yang jalan jalan lingkungan nya di lakukan semenisasi hampir semua permukaan area tersebut tertutup, di perkirakan besarnya mencapai 75%. Dengan asumsi luas wilayah tersebut 1000 m2, maka luas bidang resapan yang tersedia sebesar 25%, atau 1000 m2 x 25% = 250 m2, jadi area resapan kurang seluas 750 m2. Jika pada daerah tersebut akan di buat LRB dengan diameter 10 cm dan dalam 100 cm, sebagai alternative bidang resapan, di butuhkan :
L tanpa tutup = La + Ls
= (π × r × r) + (2 × π × r × t)
= (3,14 x 5 x 5)+((2 x 3,14 x 5 x 100)
= 78,57 cm2 + 3140 cm2
= 3218,57 cm2
= 32,186 m2
Jadi kebutuhan LRB untuk mengganti area permukaan yang sudah perkerasan adalah:
= 1000 m2 – 250 m2 = 750 m2
= 750 m2 / 32,186 m2
= 23,30 = 24 buah LRB
Untuk memenuhi kebutuhan area resapan pada lahan 1000 m2 yang sudah mendapat perlakuan perkerasan sebesar 75%, di butuhkan LRB sebanyak 24 buah.
LRB adalah salah satu upaya untuk meningkatkan imbuhan air tanah, disamping itu manfaat yang sangat berguna adalah dapat mengurangi banjir akibat limpasan air permukaan. Dengan pembiayaan yang (secara relatif) tidak terlalu tinggi, pengadaan LRB ini dapat dilakukan oleh setiap rumah tinggal pada daerah yang terdampak banjir dan permukiman padat.
PENUTUP
Lubang Resapan Biopori (LRB) secara umum adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai aktivitas organisme di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah lainnya. Lubang – lubang yang terbentuk akan terisi udara dan akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah. LRB ini merupakan salah satu upaya alternative yang strategis untuk meminimalisir terjadinya genangan akibat lambatnya penyerapan tanah karena proses perkerasan, sehingga dapat menimbulkan bencana banjir. Terutama pada daerah permukiman padat dan semenisasi.
masyarakat pada daerah terdampak dihimbau untuk segara menerapkan biopori di lingkungan masing-masing. Jika sebagian besar masyarakat telah banyak yang menerapkan biopori, maka kita tidak perlu khawatir lagi pada musim penghujan akan terjadi genangan.
DAFTAR PUSTAKA
Mitra Bentala, 2014. Laporan Pendahuluan, Studi pemetaan dan pengisian air tanah melalui pemanfaatan air hujan dengan menggunakan lubang resapan biopori di Bandar lampung
Nisaul Kamila, 2016. Perencanaan system drainase berwawasan lingkungan (ecodrainage) di kelurahan Jatisari, Kecamatan Mijen, Kota Semarang. Jurnal Teknik Lingkungan
Dirjen SDA, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air. Jakarta
Soenyoto Soedarmin, 2009. Konservasi dan pelestarian sumber daya air di Indonesia.
Hilwatullisan, 2011. Lubang resapan biopori (LRB) pengertian dan cara membuatnya di lingkungan kita. Palembang. Jurnal Lisan